KISAH TELADAN KEPEMIMPINAN DI MASA
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Kehidupan orang-orang terdahulu, terutama para sahabat Nabi, memberikan tauladan kepada kita. Kehidupan mereka penuh dengan pelajaran berharga dan contoh utama kebaikan.
Andai kita mampu menirukannya saat ini, maka cara hidup mereka akan menjadi jalan ketentraman dan kedamaian. Mereka melakukan apa yang dicontohkan panutannya, Nabi Muhammad SAW.
Ali bin Abi Thalib, semoga ridha Allah senantiasa menyertainya, khalifah Ar Rasyidin yang keempat. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Pembawa panji kehormatan dari Nabi pada saat perang Khaibar. Satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda tentang dirinya,
أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي
“Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi setelahku” (HR. Muslim no. 4418).
Ali bin Abi Thalib, semoga ridho Allah senantiasa menyertainya, terdidik dengan sifat-sifat yang luhur dan mulia. Di bawah asuhan Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Di antara sikap tersebut adalah, rasa tanggung jawab atau amanah yang nantinya akan sangat berguna saat dia menjadi pemimpin.
Ketika Nabi shallallahu’alaihiwasallam hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy dahulu, mereka menitipkan barang berharga mereka kepada orang yang dipandang amanah. Nabi shallallahu’alaihiwasallam orang yang dikenal amanah di kalangan mereka. Sampai mereka menjuluki beliau dengan “Al-Amin” (orang yang dapat dipercaya).
Ali pun menjalankan pesan Rasulullah tersebut dengan baik, sesuai yang perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. (Tarikh al Khulafa, hal. 157). Tekad beliau dalam membumikan tauhid di muka bumi amat tinggi. Lihatlah bagaimana perjuangan beliau saat hari-hari peperangan Khaibar. Beliau membulatkan tekad untuk tetap ikut dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menuju Khaibar. Padahal saat itu mata beliau sedang sakit parah. Bukan perjuangan ringan saat harus berhadapan hembusan debu sahara dan jauhnya perjalanan.
Salamah bin al Akwa’ radhiyallahu’anhu, menceritakan tentang kegigihan Ali radhiyallahu’anhu ketika itu, “Awalnya Ali berkeinginan untuk tidak ikut ke Khaibar terlebih dahulu. Karena sakit mata yang dideritanya cukup parah. Namun Ali mengatakan,
أنا أتخلف عن رسول الله
“Tidak, saya tidak ikut serta bersama Rasulullah”
Akhirnya Ali memutuskan untuk bergabung ke dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian di saat senja di hari-hari perang Khaibar, yang esuk harinya dibukalah kota Khaibar,
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لأعطين الراية أو قال ليأخذن غداً رجل يحبه الله ورسوله أو قال يحب الله ورسوله
“Esok hari, bendera ini akan saya berikan kepada seorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Atau beliau bersabda, “Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“.
Ternyata Ali lah orang yang beruntung mendapatkan bendera tersebut. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan bendera tersebut kepada Ali. (Shahih Bukhari: Kitab al Maghozi 3: 137, dalam Manhaj Ali fid Dakwati ilallah).
Beliau sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis sembari menyampirkan selendang. Beliau mengingatkan para pedagang supaya bertakwa kepada Allah dan jujur dalam bertransaksi. Beliau menasihatkan, “Adilah dalam hal takaran dan timbangan” (Siyar a’laam an nubala’ 28: 235).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa suatu hari beliau masuk pasar sendirian, padahal posisi beliau seorang Khalifah. Beliau menunjuki jalan orang yang tersesat di pasar dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sembari menyambangi para pedagang, beliau mengingatkan mereka akan firman Allah ta’ala,
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Qashas: 83).
“Ayat ini,” jelas Ali, “turun berkenaan orang-orang yang berbuat adil dan tawadu’ (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 282).
Indahnya, seorang pemimpin menyambangi rakyat kecil. Lalu mengingatkan mereka tentang akhirat. Karena kesejahteraan suatu negeri, tak hanya berporos pada hal-hal duniawi saja. Namun, hubungan rakyat dengan Sang Khalik adalah faktor utama kesejahteraan suatu bangsa. Dharar bin Dumrah menceritakan, saat diminta sahabat Muawiyah radhiyallahu’anhu untuk bercerita di hadapan beliau tentang kepribadian sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
“Ali” terang Dharar, “adalah orang yang visinya jauh ke depan, lelaki yang kuat, bicaranya jelas, keputusannya adil, menguasai banyak cabang ilmu, dan perkataannya bijak. Menjauh dari hingar-bingar dunia, bersahabat dengan sunyinya malam (untuk beribadah), mudah menangis (karena takut kepada Allah), suka pakaian pendek (sederhana), makanannya makanan rakyat kecil. Beliau di kalangan kami seperti sudah bagian dari kami. Bila dimintai beliau menyanggupi dan bila diundang beliau datang. Namun kedekatannya dengan kami dan akrabnya kami dengan beliau, kami tetap merasa segan dengan beliau.
Ali adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang miskin. Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar Rasyidun: Ali bin Abi Thalib hal: 14-15).
Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut.
Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang. Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani. Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih. Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali.
“Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”.
Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?”
Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu.
Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai. Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu,
“Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya. Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
Demikian sekelumit tentang kepribadian amirul mukminin; Ali bin Abi Thalib ketika dalam masa kepemimpinan beliau. Semoga menjadi pelajaran untuk kita bersama.